Plt Gubri Gedor Pemko Pekanbaru: Sekolah Harus Jadi Benteng Terakhir, Kasus Bullying Tak Boleh Terulang!

Plt Gubri Gedor Pemko Pekanbaru: Sekolah Harus Jadi Benteng Terakhir, Kasus Bullying Tak Boleh Terulang!

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto - Mediacenter.riau - --

RIAU, DISWAY.ID – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menaruh perhatian yang sangat serius terhadap tragedi memilukan yang mengguncang dunia pendidikan. Kasus dugaan perundungan (bullying) yang menyebabkan seorang siswa SDN 108 Tangkerang Labuai, Kecamatan Bukit Raya, meninggal dunia beberapa waktu lalu, kini menjadi prioritas utama. Pemprov Riau menuntut transparansi total.

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto, mengumumkan bahwa pihaknya akan segera memanggil Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru. Tujuannya adalah untuk meminta penjelasan secara rinci mengenai kronologi kejadian yang berujung pada hilangnya nyawa anak sekolah itu.

"Kita akan tanyakan ke Pemko Pekanbaru, apa yang sebenarnya ke terjadi dan bagaimana kronologinya (kasus bullying)," tegas SF Hariyanto, pada Selasa (25/11/2025). Perintah pemanggilan ini menunjukkan bahwa kasus ini sudah menjadi isu level provinsi yang menuntut pertanggungjawaban tinggi.

Sekolah Bukan Lagi Tempat Aman? Plt Gubri Beri Peringatan Keras!

SF Hariyanto menegaskan, tragedi serupa tidak boleh kembali terulang. Ia mengingatkan semua pihak bahwa lingkungan pendidikan memiliki fungsi sakral. Sekolah, katanya, harus menjadi ruang yang paling aman bagi anak-anak untuk berkembang, belajar, dan membentuk akhlak mulia.

"Kita tak ingin ini (bullying) terjadi lagi. Sekolah itu tempat mencari ilmu, tempat seorang manusia bisa dididik menjadi lebih baik dan memiliki akhlak," tegasnya. Pernyataan Plt Gubri ini menjadi peringatan keras bagi seluruh Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan di Riau, bahwa standar keamanan sekolah harus ditingkatkan secara drastis.

Kronologi Mengerikan: Kesaksian Sang Ibu yang Merobek Hati

Isak tangis keluarga korban mewarnai pengungkapan kronologi kasus ini secara detail. Deswita, ibu dari MA—siswa kelas VI SDN 108 yang menjadi korban—tak kuasa menahan duka saat menceritakan detik-detik sebelum anaknya meninggal dunia. Deswita menceritakan kronologi di hadapan publik setelah rapat bersama Disdik Kota Pekanbaru, pihak sekolah, dan TAPAK Riau (Tim Advokat Pejuang Keadilan) pada Senin (24/11/2025).

Deswita mengungkapkan bahwa perubahan fisik dan emosional anaknya mulai terlihat sejak Kamis (13/11/2025). Saat pulang sekolah, MA sudah menunjukkan tanda-tanda trauma. Anak itu menangis dan berulang kali mengatakan tidak ingin bersekolah lagi, namun saat itu ia belum bisa menjelaskan penyebab ketakutannya.

Titik balik tragedi terjadi keesokan harinya. "Pada hari Kamis tanggal 13 November anak saya pulang sekolah dalam keadaan menangis dan bilang tidak mau sekolah lagi. Pada Jumat siangnya tanggal 14 November 2025 anak saya lumpuh," ucap Deswita dengan suara terbata-bata, menjelaskan bagaimana kelumpuhan terjadi hanya sehari setelah insiden.

Saat lumpuh itulah, MA akhirnya berani bercerita. Ia mengungkapkan bahwa kepalanya ditendang oleh murid lain berinisial FT saat mereka sedang belajar kelompok di kelas. Tindakan kekerasan ini dilakukan tanpa sepatu dan disaksikan oleh teman dekat korban berinisial AK.

Lebih memilukan lagi, AK yang melihat kejadian itu sudah berusaha melaporkan insiden tendangan tersebut kepada wali kelas. Namun, respons yang didapat AK hanya terkesan sepele, "iya tunggu." Deswita menambahkan, tangisan anaknya saat pulang pada hari Kamis juga disaksikan oleh teman bermainnya di sekitar rumah.

Keterlambatan Penanganan Medis yang Fatal

Pasca kelumpuhan, keluarga berjuang membawa MA ke pengobatan alternatif. Sayangnya, pihak alternatif menyarankan agar keluarga segera melakukan perawatan medis modern. Namun, ketika dibawa ke puskesmas pada hari Sabtu, layanan tutup. Akhirnya, MA dirawat di rumah hingga ia mengembuskan napas terakhir pada Minggu (16/11/2025) pukul 02.00 WIB.

Duka mendalam Deswita diperparah oleh kenangan akan permintaan terakhir sang anak. "Beberapa hari sebelum meninggal, anak saya meminta agar kelak dimandikan dan digelarkan tikar karena rumah akan ramai. Saat itu kami tidak mengerti maksudnya," kata Deswita sambil menangis tersedu-sedu. Permintaan pilu tersebut kini terasa seperti firasat.

Kasus ini menjadi bukti nyata kegagalan berantai. Kegagalan sekolah dalam menindaklanjuti laporan, kegagalan akses cepat ke layanan medis yang memadai, dan yang terpenting, kegagalan menjamin lingkungan sekolah yang benar-benar aman. Plt Gubri kini menuntut transparansi dan langkah nyata dari Pemko Pekanbaru agar tragedi siswa SDN 108 ini tidak terulang di sekolah manapun di Riau. (*)

Sumber: