RIAU, DISWAY.ID — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri (Kortastipidkor Polri) mengungkap kasus besar dugaan korupsi yang mengguncang salah satu BUMD di Provinsi Riau, PT Sarana Pembangunan Riau (SPR). Dua mantan petinggi perusahaan tersebut resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan Blok Migas Langgak pada periode 2010 hingga 2015.
Wakil Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Kombes Pol Bhakti Eri Nurmansyah, menyebut total kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp33,29 miliar dan tambahan USD 3.000. “Kerugian negara yang ditimbulkan sungguh fantastis, ditaksir mencapai Rp33,29 miliar dan tambahan USD 3.000,” ujar Bhakti dalam konferensi pers, Rabu (22/10/2025).
Dua Eks Petinggi PT SPR Jadi Tersangka
Bhakti menjelaskan, kedua tersangka yang kini ditahan di Rutan Bareskrim Polri adalah RA, mantan Direktur Utama PT SPR, dan DRS, mantan Direktur Keuangan. Keduanya menjabat dalam periode yang sama, yakni 2010 hingga 2015. Skandal ini terungkap setelah penyidikan intensif dilakukan sejak Juli 2024.
Selama proses penyidikan, tim Kortastipidkor telah memeriksa 45 saksi dan empat ahli untuk menguatkan bukti-bukti yang ditemukan. Penyidik juga melakukan penggeledahan di beberapa lokasi penting, termasuk kantor pusat PT SPR di Pekanbaru serta kediaman kedua tersangka di Jakarta Selatan dan Pekanbaru.
Penyitaan Aset hingga Rp50 Miliar
Untuk mendukung proses pemulihan aset (asset recovery), Polri menyita sejumlah barang bukti berupa dokumen, barang elektronik, dan uang tunai senilai Rp5,4 miliar. Selain itu, penyidik juga membekukan 12 aset bergerak dan tidak bergerak milik para tersangka dengan nilai total mencapai Rp50 miliar. “Nilai aset yang dibekukan jauh melampaui total kerugian negara yang ditimbulkan,” jelas Bhakti.
Langkah penyitaan ini diharapkan mampu memperkuat upaya pengembalian kerugian negara sekaligus mencegah terjadinya penyembunyian aset oleh pihak terkait.
Akar Masalah: Pengelolaan Blok Migas Langgak
Kasus korupsi ini bermula dari pengelolaan Blok Migas Langgak, salah satu aset migas penting di Riau. Pada Mei 2010, PT SPR resmi berubah status menjadi perseroan terbatas dan membentuk konsorsium dengan Kingswood Capital Limited (KCL). Konsorsium tersebut memperoleh kontrak pengelolaan Blok Migas Langgak selama 20 tahun, mulai dari 2010 hingga 2030, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Namun, penyidikan mengungkap adanya penyimpangan serius dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Bhakti menuturkan, kedua tersangka diduga melanggar prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara masif, mulai dari penggunaan dana tanpa dasar yang jelas hingga pengadaan barang dan jasa tanpa analisis kebutuhan.
“Ada pengeluaran dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kesalahan pencatatan overlifting, dan pengelolaan keuangan yang tidak transparan maupun akuntabel,” kata Bhakti. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan praktik-praktik tersebut berujung pada kerugian besar bagi keuangan negara.
Proses Hukum Masuki Tahap Akhir
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan audit mendalam, penyidikan kini memasuki babak akhir. Berkas perkara kedua tersangka telah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh jaksa peneliti pada 3 Oktober 2025. Dalam waktu dekat, penyidik akan melimpahkan tersangka beserta barang bukti ke kejaksaan untuk proses penuntutan tahap II.
Bhakti memastikan bahwa penyidik akan menindaklanjuti kasus ini dengan profesional. “Dengan penetapan tersangka dan penyitaan aset ini, kami berharap penegakan hukum berjalan optimal serta memberikan efek jera bagi pengelolaan BUMD lainnya,” tegasnya.
Pesan Tegas untuk Pengelola BUMD
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pengelola BUMD di Indonesia agar menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aktivitas bisnis. Bhakti menegaskan bahwa Polri tidak akan ragu menindak tegas setiap bentuk penyimpangan, terutama yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan daerah.
“Kami ingin kasus ini menjadi pelajaran bagi seluruh manajemen BUMD agar berhati-hati dalam menggunakan dana publik. Integritas dan tata kelola yang baik harus menjadi fondasi utama,” tutup Bhakti. - Abdullah Sani -