SP PLN Desak Presiden Prabowo Cabut Kepmen ESDM Nomor 188 Tahun 2025

SP PLN Desak Presiden Prabowo Cabut Kepmen ESDM Nomor 188 Tahun 2025

SP PLN desak Presiden Prabowo cabut Kepmen ESDM 188/2025. Mereka nilai RUPTL 2025-2034 lebih berpihak pada swasta ketimbang PLN--

RIAU, DISWAY.ID – Serikat Pekerja PT PLN (Persero) mendatangi Kantor Sekretariat Negara untuk menyampaikan aspirasi terkait Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Mereka menilai regulasi yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 188.K/TL.03/MEM.L/2025 tidak berpihak pada PLN sebagai BUMN strategis.

Apa Permintaan SP PLN?

Kuasa Hukum DPP SP PLN, Dr. Redyanto Sidi, menyampaikan langsung surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat tersebut berisi permintaan agar Presiden menangguhkan, meninjau ulang, dan mengkaji kembali RUPTL 2025-2034. Menurutnya, keputusan tersebut bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik serta mengabaikan kepentingan jangka panjang PLN.

“Hari ini kami menyampaikan surat sebagai bentuk kepedulian terhadap PLN. Harapannya, Presiden Prabowo dapat menangguhkan keputusan tersebut dan memastikan penyusunan ulang dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel dengan melibatkan DPR RI serta SP PLN,” ujar Redyanto didampingi jajaran pengurus SP PLN.

Apa Alasan Keberatan SP PLN?

Ketua Umum DPP SP PLN, M. Abrar Ali, menegaskan bahwa keberatan ini sudah diajukan sejak 21 Agustus 2025 kepada Menteri ESDM dan DPR RI. Menurutnya, RUPTL tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan pengelolaan sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Ia menilai pemerintah lebih mengutamakan investor swasta, khususnya Independent Power Producer (IPP), dibanding PLN. Padahal, PLN merupakan BUMN yang seharusnya diberi porsi besar dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional.

Bagaimana Rencana Investasi dalam RUPTL?

Dalam paparan Menteri ESDM, hingga 2034 pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW) dengan komposisi 76 persen dari energi baru terbarukan (EBT) dan 24 persen dari pembangkit fosil. Total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp2.967,4 triliun.

Investasi ini terbagi dalam dua periode. Pada 2025–2029, investasi mencapai Rp1.173,94 triliun, dengan porsi 38 persen untuk IPP, 26 persen untuk PLN, dan sisanya untuk transmisi, distribusi, serta kebutuhan lainnya. Sementara pada 2030–2034, investasi diproyeksikan Rp1.793,48 triliun, dengan IPP mendapat porsi 63 persen, sementara PLN hanya 14 persen.

Mengapa Dinilai Tidak Nasionalis?

Menurut kajian SP PLN, dari total investasi pembangkit Rp2.133,7 triliun, IPP menguasai Rp1.566,1 triliun atau sekitar 73 persen. Sementara PLN hanya mendapat Rp567,6 triliun atau sekitar 20 persen. SP PLN menilai komposisi ini tidak mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap BUMN dan justru mengutamakan investor asing.

“Keputusan ini tidak nasionalis dan bertentangan dengan visi Presiden Prabowo yang sebelumnya menegaskan pentingnya kontribusi BUMN bagi pembangunan nasional. Karena itu, kami meminta Presiden untuk segera mengkaji ulang,” ujar Abrar Ali.

Apa Langkah Lanjutan?

SP PLN menyebut surat keberatan ini merupakan aspirasi dari 30 ribu anggota. Mereka berharap pemerintah mendengarkan suara pekerja PLN. Jika tuntutan tidak ditanggapi, tidak menutup kemungkinan aksi lanjutan akan dilakukan demi menyelamatkan kepentingan BUMN dan ketahanan energi nasional.

“Kami yakin Bapak Presiden mendengarkan aspirasi SP PLN. Ini demi masa depan PLN yang lebih kuat dan demi kemandirian energi bangsa,” tutup Abrar Ali.

Desakan SP PLN kepada Presiden Prabowo agar mencabut Kepmen ESDM Nomor 188 Tahun 2025 menjadi peringatan serius terhadap kebijakan energi nasional. Polemik ini mencerminkan tarik ulur antara kepentingan investor swasta dan peran BUMN dalam menjaga kedaulatan energi. Keputusan pemerintah atas tuntutan ini akan menjadi penentu arah pengelolaan listrik Indonesia ke depan. (*)

Sumber: