Realita Pahit Pengemudi Ojek Online: Bukan Solusi Pengangguran dan Jauh dari Sejahtera

Sejumlah pengemudi ojek online menunggu orderan di kawasan Palmerah Jakarta, Senin, 10 Februari 2025 (ANTARA FOTO-Fauzan)--
RIAU.DISWAY.ID - Selama ini, ojek online kerap dianggap sebagai solusi pengangguran di Indonesia. Namun, hasil survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi tidak datang dari kalangan pengangguran. Lebih dari itu, realitas penghasilan mereka pun jauh dari kata sejahtera. Apakah transportasi daring benar-benar membuka lapangan kerja atau justru memperparah ketimpangan ekonomi pekerja informal?
Tak Semua Ojol Berasal dari Pengangguran
Stigma bahwa pengemudi ojek online adalah pengangguran yang mendapat peluang kerja baru ternyata tak sepenuhnya benar. Berdasarkan survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan pada 2019, hanya 18 persen mitra ojek daring sebelumnya tidak memiliki pekerjaan. Angka ini bahkan turun pada 2022 menjadi 16,09 persen menurut survei Badan Kebijakan Transportasi Kemenhub.
Artinya, mayoritas pengemudi berasal dari kalangan pekerja yang telah memiliki pekerjaan sebelumnya, dan menjadikan profesi ojol sebagai alternatif, bukan karena tidak ada pilihan lain.
Survei Kemenhub Ungkap Kondisi Ojol dan Penggunanya
Dalam rangka menindaklanjuti Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 667 Tahun 2022, Kemenhub melakukan survei terhadap pengguna dan pengemudi ojek online pada 13–20 September 2022 di wilayah Jabodetabek.
Sebanyak 2.655 pengguna dan 2.016 mitra ojol menjadi responden. Hasilnya menarik:
- 53% pengguna adalah pria, sebagian besar karyawan swasta.
- Pendapatan pengguna umumnya di bawah Rp3 juta.
- Sebagian besar menggunakan ojol karena kepraktisan dan kecepatan.
- Gojek jadi aplikasi paling banyak digunakan (59,13%), disusul Grab (32,24%).
- Sistem pembayaran favorit adalah kombinasi uang elektronik dan tunai.
Nasib Pengemudi: Tekanan Biaya vs Pendapatan Minim
Mayoritas pengemudi ojol adalah pria (81%), dengan usia dominan 20–30 tahun. Sebanyak 54% menjadikan ojol sebagai pekerjaan utama, dan hanya 46% sebagai pekerjaan sampingan.
Namun, pendapatan mereka sangat minim. Rata-rata hanya Rp50 ribu–Rp100 ribu per hari, sementara biaya operasional pun berada di kisaran yang sama. Belum lagi, mereka jarang mendapat bonus dari aplikator—52% mengatakan jarang, bahkan 37,4% mengaku tidak pernah.
"Dengan sistem potongan aplikator yang besar dan tidak adanya batasan jumlah pengemudi, mustahil profesi ini menjadi sandaran hidup yang layak," ujar Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, melalui pesan tertulis kepada Disway, Minggu (18/5/2025).
Kenaikan Tarif Tak Langsung Sejahterakan Driver
Kebijakan kenaikan tarif ojek online sejak 11 September 2022 justru berbalik arah. Jumlah pesanan malah menurun. Sebelum penyesuaian tarif, 46,88% pengemudi menerima 5–10 order per hari. Setelahnya, 55,65% hanya menerima kurang dari 5 order.
Meski sebagian masyarakat memahami kenaikan tarif ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan driver, nyatanya efek tersebut belum terasa.
Tanpa Perlindungan, Tanpa Kepastian
Realitas pahit lainnya adalah soal perlindungan kerja. Pengemudi ojol tidak mendapatkan hak layaknya pekerja formal: tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada hari libur, dan tidak ada penghasilan tetap. Jam kerja pun sangat panjang—sekitar 6–12 jam per hari.
“Jika sepeda motor digunakan sebagai angkutan umum, maka harus tunduk pada aturan angkutan umum, termasuk uji berkala (kir), plat kuning, dan SIM C umum,” tambah Djoko Setijowarno.
Contoh keberhasilan bisa dilihat di Kota Agats, Papua, yang sejak 2011 telah menetapkan ojek sebagai angkutan umum resmi dengan plat kuning dan kendaraan listrik.
Alternatif Solusi: Pemerintah Ambil Peran
Djoko menyarankan, jika pemerintah serius ingin melindungi pengemudi ojol, perlu ada aplikasi milik negara atau daerah. Ini seperti yang dilakukan Korea Selatan, yang membuat aplikasi sendiri untuk taksi agar tetap melindungi sopir lokal.
Sumber: