Pagi itu di Balairung Tenas Effendi menjadi saksi bahwa syair bukan hanya sekadar seni sastra, tetapi juga cermin rasa hormat, penghargaan, dan kedekatan antara masyarakat Melayu Riau dengan Kapolri. Bagi Listyo Sigit, mungkin hari itu menjadi momen di mana ia memimpin bukan dengan suara lantang, melainkan dengan keheningan yang penuh makna.
Acara tersebut menegaskan betapa seni dan adat dapat menjadi jembatan hati, bahkan untuk seorang pemimpin setinggi Kapolri. Sebuah pengingat bahwa di balik jabatan tinggi, seorang jenderal pun tetaplah manusia biasa yang dapat tersentuh oleh keindahan kata dan ketulusan rasa. (*)