Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Senin 27-10-2025,09:14 WIB
Reporter : Reza
Editor : Reza

Padahal, jika amanah adalah ukuran utama kepemimpinan, maka setiap individu yang mampu memikul tanggung jawab dengan jujur dan adil layak memimpin tanpa harus diukur oleh jenis kelamin.

Ruang akademik Islam seharusnya menjadi laboratorium keadilan sosial, tempat di mana nilai rahmatan lil ‘alamin diterjemahkan dalam praktik kelembagaan yang lebih egaliter, manusiawi, dan berorientasi pada kemaslahatan. 

Namun, fakta di lapangan menunjukkan paradoks institusi yang mengajarkan keadilan masih kerap menunda keadilan bagi perempuan di dalam tubuhnya sendiri. 

Maka, memperluas ruang kepemimpinan perempuan bukanlah sekadar tuntutan kesetaraan gender, tetapi bagian dari upaya mengembalikan substansi ajaran Islam itu sendiri bahwa setiap amanah harus diberikan kepada yang berhak, bukan kepada yang dianggap “lebih pantas” karena gendernya.

Tantangan Struktural dan Budaya Patriarkis

Perempuan yang berjuang di ruang akademik Islam menghadapi dua lapis tantangan yang saling mengunci, struktural dan kultural. 

Secara struktural, sistem birokrasi kampus sering kali dibangun di atas logika maskulin kompetisi, hierarki, dan loyalitas politik yang tidak selalu memberi ruang bagi nilai-nilai empatik dan partisipatif yang kerap dibawa oleh perempuan.

Prosedur promosi jabatan akademik dan mekanisme pemilihan pimpinan, misalnya, masih sangat bergantung pada jaringan informal dan kedekatan struktural, bukan pada merit atau integritas. 

Dalam iklim seperti ini, perempuan sering kali tidak hanya harus lebih kompeten, tetapi juga harus lebih kuat secara sosial untuk diakui.

Representasi perempuan dalam forum pengambil keputusan pun masih rendah. Banyak yang akhirnya berhenti di level menengah karena terbentur waktu, tanggung jawab domestik, atau pandangan bahwa kepemimpinan perempuan “tidak sesuai” dengan citra ideal seorang akademisi Muslimah. 

Padahal, Islam tidak pernah membatasi peran perempuan dalam wilayah publik justru menegaskan pentingnya amanah dan keadilan dalam setiap amanat sosial, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin.

Dari sisi kultural, jejak patriarki masih menempel kuat dalam cara pandang terhadap figur pemimpin perempuan. Perempuan yang tampil asertif dianggap terlalu keras, sementara yang lembut dicap kurang tegas. 

Paradoks ini menciptakan “jebakan ganda” (double bind) yang menyulitkan perempuan akademisi untuk menemukan bentuk kepemimpinan yang diterima tanpa harus kehilangan jati dirinya. 

Di balik itu semua, ada beban emosional yang jarang diakui rasa lelah karena harus terus membuktikan diri, meskipun kompetensi sudah lebih dari cukup. Dalam banyak kasus, perempuan tidak ditolak karena tidak mampu, melainkan karena sistem belum siap menerima keberanian dan otoritas yang hadir dalam tubuh perempuan.

Data internal di sejumlah PTKIN memperlihatkan bahwa perempuan mendominasi jumlah dosen di tingkat awal dan menengah, tetapi menurun drastis di jabatan guru besar dan struktural tinggi. 

Fenomena ini dikenal sebagai leaky pipeline kebocoran potensi perempuan akibat sistem yang belum ramah gender. Tidak sedikit perempuan akademisi yang berhenti pada tahap tertentu karena merasa terjebak antara tuntutan profesional dan ekspektasi sosial yang kaku.

Tags :
Kategori :

Terkait